Minggu, 03 Maret 2019

Keuntungan & Kerugian Swamedikasi serta Peran Tenaga Teknik Kefarmasian dalam Swamedikasi Obat Bebas & Obat Bebas Terbatas

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

  Swamedikasi atau pengobatan sendiri merupakan bagian dari upaya masyarakat menjaga kesehatannya sendiri. Pada pelaksanaanya, swamedikasi /pengobatan sendiri dapat menjadi masalah terkait obat (Drug Related Problem) akibat terbatasnya pengetahuan mengenai obat dan penggunaannya (Nur Aini, 2017). Dasar hukum swamedikasi adalah peraturan Menteri Kesehatan No. 919 Menkes/Per/X/1993. Menurut Pratiwi, et al (2014) swamedikasi merupakan salah satu upaya yang sering dilakukan oleh seseorang dalam mengobati gejala sakit atau penyakit yang sedang dideritanya tanpa terlebih dahulu melakukan konsultasi kepada dokter. 
      Swamedikasi yang tepat, aman,dan rasional terlebih dahulu mencari informasi umum dengan melakukan konsultasi kepada tenaga kesehatan seperti dokter atau petugas apoteker. Adapun informasi umum dalam hal ini bisa berupa etiket atau brosur. Selain itu, informasi tentang obat bisa juga diperoleh dari apoteker pengelola apotek, utamanya dalam swamedikasi obat keras yang termasuk dalam daftar obat wajib apotek (Depkes RI., 2006; =Zeenot, 2013). Hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2014 menunjukkan bahwa presentase penduduk yang melakukan swamedikasi / pengobatan diri sendiri akibat keluhan kesehatan yang dialami sebesar 61,05%. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku swamedikasi di Indonesia masih cukup besar (BPS, 2016). 
          Alasan masyarakat Indonesia melakukan  swamedikasi atau peresepan sendiri karena penyakit dianggap ringan (46%), harga obat yang lebih murah (16%) dan obat mudah diperoleh (9%) (Kartajaya et al., 2011). Swamedikasi biasanya dilakukan untuk mengatasi keluhan-keluhan dan penyakit ringan yang banyak dialami masyarakat seperti demam, nyeri, pusing, batuk, influenza, sakit maag, cacingan, diare, penyakit kulit dan lain-lain (Depkes RI, 2010). Kriteria yang dipakai untuk memilih sumber pengobatan adalah pengetahuan tentang sakit dan pengobatannya, keyakinan terhadap obat/ pengobatan, keparahan sakit, dan keterjangkauan biaya, dan jarak ke sumber pengobatan. Keparahan sakit merupakan faktor yang dominan diantara keempat faktor diatas (Supardi, 2005). 
   Perilaku swamedikasi dibentuk melalui suatu proses dan berlangsung dari interaksi manusia dengan lingkungannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku dibedakan menjadi dua yakni faktor intern dan ekstern. Faktor intern mencakup pengetahuan, kecerdasan, persepsi, emosi, motivasi dan sebagainya yang berfungsi untuk mengolah rangsangan dari luar (Yusrizal, 2015). Menurut Notoatmodjo (2003) faktor ekstern meliputi lingkungan sekitar baik fisik maupun non fisik seperti iklim, manusia, sosial-ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya. Swamedikasi menjadi tidak tepat apabila terjadi kesalahan mengenali gejala yang muncul, memilih obat, dosis dan keterlambatan dalam mencari nasihat / saran tenaga kesehatan jika keluhan berlanjut. Selainitu, resiko potensial yang dapat muncul dari swamedikasi antara lain adalah efek samping yang jarang muncul namun parah, interaksi obat yang berbahaya, dosis tidak tepat, dan pilihan terapi yang salah (BPOM, 2014). 

B. PERUMUSAN MASALAH

1. Apa saja keuntungan swamedikasi?
2. Apa saja kerugian swamedikasi?
3. Apa saja peran Tenaga Teknik Kefarmasian dalam penggunaan obat bebas dan bebas terbatas dalam swamedikasi?

C. TUJUAN PENULISAN

1. Agar dapat  mengetahui apa saja keuntungan swamedikasi
2. Agar dapat mengetahui apa saja kerugian swamedikasi
3. Agar dapat mengetahui apa saja peran Tenaga Teknik Kefarmasian dalam penggunaan obat bebas dan bebas terbatas dalam swamedikasi. 

BAB II
PEMBAHASAN

A. Apa saja Keuntungan Swamedikasi

    Manfaat optimal dari swamedikasi dapat diperoleh apabila penatalaksanaannya rasional. Swamedikasi yang dilakukan dengan tanggung jawab akan memberikan beberapa kentungan yaitu : membantu mencegah dan mengatasi gejala penyakit ringan yang tidak memerlukan dokter, memungkinkan aktivitas masyarakat tetap berjalan dan tetap produktif, menghemat biaya dokter dan penebusan obat resep yang biasanya lebih mahal, meningkatkan kepercayaan diri dalam pengobatan sehingga menjadi lebih aktif dan peduli terhadap kesehatan diri ( WHO, 2000 ). Bagi paramedis kesehatan, hal ini amat membantu, terutama di pelayanan kesehatan primer seperti puskesmas yang jumlah dokternya terbatas. Selain itu, praktik swamedikasi meningkatkan kemampuan masyarakat luas mengenai pengobatan dari penyakit yang diderita hingga pada akhirnya, masyarakat diharapkan mampu memanajemen sakit sampai dengan keadaan kronisnya (WSMI, 2010). 
B. Apa saja kerugian swamedikasi

Apabila penatalaksanaannya tidak rasional, swamedikasi dapat menimbulkan kerugian seperti: kesalahan pengobatan karena ketidaktepatan diagnosis sendiri; penggunaan obat yang terkadang tidak sesuai karena informasi biasa dari iklan obat di media; pemborosan waktu dan biaya apabila swamedikasi tidak rasional; dapat menimbulkan reaksi obat yang tidak diinginkan seperti sensitivitas, alergi, efek samping atau resistensi (Holt et al, 1986). 

C. Peran tenaga teknik kefarmasian dalam penggunaan obat bebas dan bebas terbatas dalam swamedikasi

    Penggunaan obat bebas dan obat bebas terbatas dalam pengobatan sendiri ( swamedikasi) harus mengikuti prinsip penggunaan obat secara umum, yaitu penggunaan obat secara aman dan rasional. Swamedikasi yang bertanggung jawab membutuhkan produk obat yang sudah terbukti keamanan, khasiat dan kualitasnya, serta membutuhkan pemilihan obat yang tepat sesuai dengan indikasi penyakit dan kondisi pasien. Sebagai seorang professional kesehatan dalam bidang kefarmasian, tenaga teknik kefarmasian mempunyai peran yang sangat penting dalam memberikan bantuan, nasihat dan petunjuk kepada masyarakat yang ingin melakukan swamedikasi, agar dapat melakukannya secara bertanggung jawab. Tenaga teknik kefarmasian harus dapat menekankan kepada paisen, bahwa walaupun obat dapat diperoleh tanpa resep dokter, namun penggunaan obat bebas dan obat bebas terbatas dapat menimbulkan bahaya dan efek samping yang tidak dikehendaki jika dipergunakan secara tidak semestinya. 
Dalam penggunaan obat bebas dan obat bebas terbatas, tenaga teknik kefarmasian memiliki dua peran yang sangat penting yaitu menyediakan produk obat yang sudah terbukti keamanan, khasiat dan kualitasnya serta memberikan informasi yang dibutuhkan atau melakukan konseling kepada pasien dan keluarganya agar obat yang digunakan secara aman, tepat dan rasional. Konseling terutama dalam mepertimbangkan :
1. Ketepatan penentuan indikasi/penyakit
2. Ketepatan pemilihan obat ( efektif, aman, ekonomis ), serta
3. Ketepatan dosis dan cara penggunaan obat
Satu hal yang sangat penting dalam konseling swamedikasi adalah meyakinkan agar produk yang digunakan tidak berinteraksi negative dengan produk-produk yang sedang digunakan atau dikonsumsi pasien. Di samping itu tenaga teknik kefarmasian juga diharapakan dapat memberikan petunjuk kepada pasien bagaiman memonitor penyakitnya, serta kapan harus menghentikan pengobatannya atau kapan harus berkonsultasi kepada dokter. 
Informasi tentang obat dan penggunaannya perlu diberikan pada pasien saat konseling untuk swamedikasi pada dasarnya lebih ditekankan pada informasi farmakoterapi yang disesuaikan dengan kebutuhan pertanyaan pasien. Informasi yang perlu disampaikn oleh tenaga teknik kefarmasian pada masyarakat dalam penggunaan obat bebas dan obat bebas terbatas Antara lain:
1. Khasiat obat : apoteker perlu menerangkan dengan jelas apa khasiat obat yang bersangkutan, sesuai atau tidak dengan indikasi atau gangguan kesehatan yang dialami pasien.
2. Kontraindikasi : pasien juga perlu diberi tahu dengan jelas kontra indikasi dari obat yang diberikan, agar tidak menggunakannya jika memiliki kontra indikasi dimaksud
3. Efek samping dan cara mengatasinya (jika ada) : pasien juga perlu diberi informasi tentang efek samping yang mungkin muncul, serta apa yang harus dilakukan untuk menghindari atau mengatasinya.
4. Cara pemakaian : cara pemakaian harus disampaikan secara jelas kepada pasien untuk menghindari salah pemakaian, apakah ditelan, dihirup, dioleskan, dimasukan melalui anus, atau cara lain
5. Dosis : sesuai dengan kondisi kesehatan pasien, apoteker dapat menyarankan dosis sesuai dengan yang disarankan oleh produsen ( sebagaimana petunjuk pemakaian yang tertera di etiket ) atau dapat menyarankan dosis lain sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. 
6. Waktu pemakaian ; waktu pemakaian juga harus diinformasikan dengan jelas kepada pasien, misalnya sebelum atau sesudah makan atau saat akan tidur
7. Lama penggunaan : lama penggunaan obat juga harus diinformasikan kepada pasien, agar pasien tidak menggunakan obat secara berkepanjangan karena peyakitnya belum hilang, padahal sudah memerlukan pertolongan dokter
8. Hal yang harus diperhatikan sewaktu minum obat tersebut, misalnya pantangan makanan atau tidak boleh minum oabt tertentu dalam waktu bersamaan
9. Hal apa yang harus dilakukan jika lupa memakai obat 
10. Cara penyimpanan obat yang baik
11. Cara memperlakukan obat yang masih tersisa
12. Cara membedakan obat yang masih baik dan sudah rusak
Di samping itu, apoteker juga perlu memberi informasi kepada pasien tentang obat generic yang memiliki khasiat sebagaimana yang dibutuhkan serta keuntungan yang dapat diperoleh dengan menggunakan obat generik. Hal ini penting dalam pemilihan obat yang selayaknya harus selalu memperhatikan aspek farmakoekonomi dan hak pasien. 
13. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang swamedikasi agar tidak terjadi kesalahan yang tidak diinginkan. 

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

    Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa keuntungan dari swamedikasi adalah jika swamedikasi yang dilakukan dengan tanggung jawab akan memberikan beberapa keuntungan yaitu : membantu mencegah dan mengatasi gejala penyakit ringan yang tidak memerlukan dokter, memungkinkan aktivitas masyarakat tetap berjalan dan tetap produktif, menghemat biaya dokter dan penebusan obat resep yang biasanya lebih mahal, meningkatkan kepercayaan diri dalam pengobatan sehingga menjadi lebih aktif dan peduli terhadap kesehatan diri. Apabila penatalaksanaannya tidak rasional, swamedikasi dapat menimbulkan kerugian seperti: kesalahan pengobatan karena ketidaktepatan diagnosis sendiri; penggunaan obat yang terkadang tidak sesuai karena informasi biasa dari iklan obat di media; pemborosan waktu dan biaya apabila swamedikasi tidak rasional; dapat menimbulkan reaksi obat yang tidak diinginkan seperti sensitivitas, alergi, efek samping. Serta peran seorang tenaga teknis kefarmasian dalam swamedikasi obat bebas dan bebas terbatas antara lain : menyampaikan informasi khasiat obat, kontraindikasi, efek samping, cara pemakaian, dosis, waktu pemakaian, lama penggunaan, hal yang harus diperahatikan sewaktu minum obat tertentu, hal apa yang harus dilakukan jika lupa memakai obat, cara penyimpanan obat yang baik, cara memperlaukan obat yang masih tersisa, cara membedakan obat yang masih baik dan yang sudah rusak. Dan juga seorang tenaga teknik kefarmasian perlu memberi informasi kepada pasien tentang obat generik yang memiliki khasiat sebagaimana yang dibutuhkan, serta keuntungan yang dapat diperoleh dengan menggunakan obat generik. Hal ini penting dalam pemilihan obat yang selayaknya harus selalu memperhatikan aspek farmakoekonomi dan hak pasien. Serta memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang Swamedikasi. 

B. Saran 

      Sebagai seorang tenaga teknik kefarmasian  harus benar-benar menguasai perannya dalam pelayanan masyarakat dalam hal ini yang bersangkutan dengan swamedikasi obat bebas dan bebas terbatas agar masyarakat yang ingin melakukan pengobatan sendiri tidak melakukan kesalahan selama proses pengobatan. 


Daftar Pustaka

https://www.academia.edu/11687862/manajemen_farmasi
http://aespesoft.com/peran-apoteker-dalam-penggunaan-obat/

Senin, 21 Januari 2019

Penatalaksanaan Panu Secara Farmakologis

PENATALAKSANAAN PANU SECARA 
FARMAKOLOGIS

A. LATAR BELAKANG
        Dalam kehidupan sehari hari kebersihan merupakan hal yang sangat penting dan harus diperhatikan karena kebersihan itu sendiri sangat dipengaruhi oleh nilai individu dan kebiasaan. Kulit memiliki fungsi yang sangat penting bagi tubuh yaitu sebagai pelindung organ-organ tubuh di dalamnya, maka dari itu kebersihan kulit perlu dijaga kesehatannya. Kebersihan kulit merupakan mekanisme utama untuk mengurangi kontak dan transmisi terjadinya infeksi, salah satunya adalah infeksi jamur. Infeksi jamur kulit cukup banyak ditemukan di Indonesia, yang merupakan Negara tropis beriklim panas dan lembab, apabila higiene juga kurang sempurna (Madani A, 2000).
        Mikosis adalah penyakit yang disebabkab oleh jamur. Penyakit jamur atau mikosis yang mempunyai insidensi cukup tinggi ialah mikosis superfisialis. Penyakit yang termasuk mikosis superfisialis adalah dermatofitosis dan nondermatofitosis, yang terdiri atas berbagai penyakit diantaranya Pityriasis versicolor (PV), yang telah dikenal sebagai penyakit panu. 
Ditinjau dari masing-masing kasus mikosis superfisialis yang paling sering ditemukan adalah Pityriasis versicolor. Pityriasis versicolor adalah infeksi jamur superfisial pada lapisan tanduk kulit yang disebabkan oleh Malassezia furfur atau Pityrosporum orbiculare. Infeksi ini bersifat menahun, ringan dan biasanya tanpa peradangan.
Pityriasis versicolor dapat menyerang masyarakat kita tanpa memandang golongan umur tertentu. Dari segi usia yakni usia 16-40 tahun kemungkinan karena segmen usia tersebut lebih banyak mengalami faktor predisposisi atau pencetus misalnya pekerjaan basah, trauma, banyak keringat, selain pejajan terhadap jamur lebih lama. Tidak ada perbedaan antara pria dan wanita , walaupun pernah dilaporkan di USA penderita yang tersering menderita  berusia Antara 20-30 tahun dengan perbandingan 1,09 % pria dan 0,6% wanita.

B. PEMBAHASAN

1. Definisi
Pityriasis versicolor adalah infeksi jamur superfisial pada kulit yang disebabkan oleh Malassezia furfur atau pityrosporum orbiculare dan ditandai dengan adanya macula di kulit, skuama halus dan disertai rasa gatal. Infeksi ini bersifat menahun, ringan dan biasanya tanpa peradangan. Pityriasis versicolor biasanya mengenai wajah, leher, badan, lengan atas, ketiak, paha, dan lipatan paha

2. Cara penularan 
Sebagian besar kasus Pityriasis versicolor terjadi karena aktivasi Malassezia furfur pada tubuh penderita sendiri ( autothocus flora), walaupun dilaporkan pula adanya penularan dari individu lain. Kondisi patogen terjadi billa terdapat perubahan keseimbangan hubungan Antara hospes dengan ragi sebagai flora normal kulit. Dalam kondisi tertentu Malassezia furfur akan berkembang ke bentuk miselial, dan bersifat lebih patogenik. Keadaan yang mempengarruhi keseimbangan antara hospes dengan ragi tersebut diduga adalah factor lingkungan atau faktor individual. Faktor lingkungan diantaranya adalah lingkungan mikro pada kulit, misalnya kelembaban kulit. Sedangkan faktor individual antara lain adanya kecendrungan genetik, atau adanya penyakit yang mendasari misalnya sindrom Cushing atau malnutrisi (Radiono,2001).

3. Faktor-faktor yang menjadi penyebab timbulnya panu:
a. Lembab dan panas dari lingkungan, dari pakaian ketat dan pakaian tak menyerap keringat
b. Keringat berlebihan karna berolahraga
c. Friksi atau trauma minor misalnya gesekan pada paha ketika melakukan aktivitas
d. Keseimbangan flora tubuh normal terganggu, Antara lain karena pemakaian antibiotic, atau hormonal dalam jangka panjang. 

4. Cara mencegah penyakit panu :
a. Mandi secara teratur, minimal 3 kali sehari
b. Jagalah kebersihan pakaian 
c. Gunakan pakaian dengan bahan yang dapat menyerap keringat
d. Gunakan handuk yang bersih, 


5.Penatalaksanaan
Pengobatan Pityriasis versicolor dapat diterapi secara topical maupun sistemik. Tingginya angka kekambuhan merupakan masalah, dimana mencapai 60% pada tahun pertama dan 80% setelah tahun kedua. Oleh sebab itu diperlukan terapi, profilaksis untuk mencegah rekurensi :

a. Pengobatan Topikal
Pengobatan harus dilakukan secara menyeluruh, tekun dan konsisten. Obat yang dapat digunakan adalah :
Selenium sulfida 1,8 % dalam bentuk shampoo 2-3 kali seminggu. Obat digosokkan pada lesi dan didiamkan selama 15-30 menit sebelum mandi.
Salisil spiritus 10 %
Turunan azol, misalnya : mikonazol, klotrimazol, isokonazol dan ekonazol dalam bentuk topical
Sulfur praesipitatum dalam bedak kocok 4-20%
Larutan Natrium Tiosulfas 25 %, dioleskan 2 kali sehari sehabis mandi selama 2 minggu. ( Partogi, 2008).

b. Pengobatan Sistemik
Pengobatan sistemik diberikan pada kasus Pityriasis versicolor yang luas atau jika pemakaian obat topical tidak berhasil. Obat yang dapat diberikan adalah :
Ketoconazole, Dosis : 200 mg per hari selama 10 hari
Fluconazole, dosis : dosis tunggal 150-300 mg setiao minggu
Intraconazole, Dosis : 100 mg per hari selama 2 minggu ( Madani A, 2000).

c. Terapi hipopigmentasi  (Leukoderma)
Liquor  carbonas detergent 5 %, salep pagi/malam
Krim kortikosteroid menengah pagi dan malam
Jemur di matahari > 10 menit Antara jam 10.00-15.00 (Murtiastutik, 2009).
Pityriasis versi kolor cenderung untuk kambuh,sehingga pengobatan harus diulangi.
6. Pencegahan
Untuk mencegah terjadinya pityriasis versicolor dapat disaranakan pemakaian 50% propilen glikol dalam air untuk pencegahan kekambuhan. Pada daereah endemic dapat disarankan pemakaian ketoconazole 200 mg/hari selama 3 bulan atau intrakonazole 200 m sekali sebulan atau pemakaian sampo selenium sulfit sekali seminggu (Radiono, 2001)
Untuk mencegah timbulnya kekambuhan, perlu diberikan pengobatan pencegahan, misalnya sekali dalam seminggu, sebulan dan seterusnya. Warna kulit akan putih kembali bila tidak terjadi reinfeksi. Pajanan terhadap sinar matahari dan kalau perlu obat fototoksik dapat dipakai dengan hati-hati, misalnya oleum bergamot atau metoksalen untuk memulihkan warna kulit tersebut (Madani A, 2000).

C. KESIMPULAN
       Pityriasis Versicolor adalah infeksi jamur superfisial pada kulit yang disebabkan oleh Malassezia furfur atau pityrosporum orbiculare dan ditandai dengan adanya macula di kulit, skuama halus dan disertai rasa gatal. Infeksi ini bersifat menahun, ringan dan biasanya tanpa peradangan. Cara penularannya dalam kondisi tertentu Malassezia furfur akan berkembang ke bentuk miselial, dan bersifat lebih patogenik. Keadaan yang mempengarruhi keseimbangan Antara hospes dengan ragi tersebut diduga adalah factor lingkungan atau faktor individual. Faktor lingkungan diantaranya adalah lingkungan mikro pada kulit, misalnya kelembaban kulit. Sedangkan faktor individual antara lain adanya kecendrungan genetik, atau adanya penyakit yang mendasari misalnya sindrom Cushing atau malnutrisi. Penatalaksanaan pengobatan Pityriasis versicolor dapat diterapi secara topical maupun sistemik dan Terapi hipopigmentasi  (Leukoderma). Pengobatan Topikal ; Pengobatan harus dilakukan secara menyeluruh, tekun dan konsisten. Obat yang dapat digunakan adalah : Selenium sulfide, Salisil spiritus 10 %, Turunan azol (mikonazol, klotrimazol, isokonazol dan ekonazol) dalam bentuk topical, Sulfur praesipitatum dalam bedak kocok 4-20%, Larutan Natrium Tiosulfas 25 %, Pengobatan Sistemik ; Pengobatan sistemik diberikan pada kasus Pityriasis versicolor yang luas atau jika pemakaian obat topical tidak berhasil. Obat yang dapat diberikan adalah :Ketoconazole, Fluconazole, , Intraconazole, Terapi hipopigmentasi  (Leukoderma) seperti Liquor  carbonas detergent 5 %, Krim kortikosteroid, Jemur di matahari > 10 menit. Pityriasis versi kolor cenderung untuk kambuh,sehingga pengobatan harus diulangi.

Lampiran Brosur Panu:

Daftar pustaka :
Partogi, Dona. 2008. Pityriasis Versicolor dan Diagnosis Bandingnya.
Medan USU e-Repository